Peran Guru Agama Islam di Sekolah oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si

Ironis sekali jika guru agama Islam mendapat kesempatan mengajar hanya seminggu sekali di sekolah, padaha sekolah adalah Institusi transfer ilmu pengetahuan dan mendidik akhlak dan cara bergaul siswa. Dampaknya pesan Islam yang disampaikan tidak dapat dipahami secara menyeluruh. Adapun demikian penulis akan meninjau secara teoritik peran Guru Agama Islam di sekolah Umum. Sehingga hal ini bisa diketahui secara lebih luas baik pembaca maupun guru agama Islam.
Guru secara etimologi yaitu someone whose is to teach in a school or college.[1] Melalui pengertian tersebut bahwa seorang guru harus memiliki kapasitas dan kualitas keilmuan untuk mentransfer ilmu kepada anak didiknya baik di sekolah maupun di tempat kursus.
            Adapun guru menurut Ali Mudlofir, guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal.[2]
            Pada pengertian guru di atas maka guru berperan secara keseluruhan di dalam kegiatan proses belajar hingga memberikan nilai secara objektif melalui output ujian akhir. Hal ini menggambarkan bahwa guru mempunyai pandangan secara utuh dan berhak memberikan keputusan secara objektif tentang siswa dan siswi yang diajarkannya.
            Sebagai Perbandingan atas “cakupan” sebutan guru ini, di Filipina, seperti tertuang dalam Republic Act 7784, kata guru (teachers) dalam makna luas adalah semua tenaga kependidikan yang menyelenggarakan tugas pembelajaran di kelas untuk beberapa mata pelajaran, termasuk praktik atau seni vokasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (elementary and secondary level).[3]
            Adapun pendidik dalam Islam menurut Ahmad Tafsir adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam orang bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal pertama karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya, kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua yang berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.[4]
            Melihat perspektif definisi guru agama Islam di atas bahwa ada guru agama Islam secara Internal dan Eksternal. Adapun guru Agama Islam secara Internal yaitu orang tua kandung yang mengajarkan moral dan akhlak kepada anaknya mulai dari kecil hingga baligh sehingga terpatri sifat-sifat Islami berupa akhlak mahmudah (akhlak terpuji). Sedangkan guru agama secara eksternal yaitu seseorang yang dianggap orang tua umumnya di sekolah yang memberi pemahaman secara teoritik dan praktik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ajaran agama Islam.
            Secara singkatnya Guru Agama Islam yaitu seseorang yang mendidik, mengajarkan, dan membimbing siswa dan siswinya dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam. Namun, di dalam pendidikan agama Islam tersebut harus memenuhi standard baku dari penanaman nilai-nilai Islami dari aqidah, syariat, dan akhlak. Karena ketiga aspek tersebut siswa-siswi dapat mengetahui Islam secara kaffah (menyeluruh).
            Ahmad Tasir, di dalam bukunya “Ilmu pendidikan Islami” mengutip pernyataan Soejono tentang syarat guru dalam pendidikan agama Islam, sebagai berikut:[5]
1.      Tentang Umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang penting karena menyangkut perkembangan seseorang, jadi menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa; anak-anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
            Di Indonesia, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau sudah nikah. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi lelaki dan 18 tahun bagi perrempuan.
2.      Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan ruhani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksana pendidikan, bahkan dapat membahakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi ruhani, orang gila berbahaya juga bila ia mendidik.
3.      Tentang kemampuan mengajar, ia  harus ahli
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru (orang tua di rumah) sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya itu diharapkan ia akan berkemampuan menyelenggarankan pendidikan dengan baik dan menghasilkan anak didik yang berkarakter.
4.      Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini sangat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya? Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain mengajar; dedikasi tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan mutu mengajar.
            Munir Mursi tatkala membicarakan syarat guru kuttab (semacam sekolah dasar di Indonesia), menyatakan syarat terpenting bagi guru agama Islam adalah syarat keagamaan. Dengan demikian Syarat Guru dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.      Umur, harus sudah dewasa
2.      Kesehatan, harus sehat jasmani dan ruhani
3.      Keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar)
4.      Harus berkepribadian muslim
Untuk  itu, guru Agama Islam harus menguasai Ilmu Pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang dimaksud yaitu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan Hadits. Selain itu Pendidikan Islam berkaitan dengan hukum Islam secara menyeluruh untuk kehidupan manusia dan berhubungan antara dirinya dengan pencipta, alam semesta, dan kehidupan.[6]
            Sedangkan menurut Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain seringkali beliau mengatakan kepribadian utama dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai Islam.[7]
            Melalui dua pengertian diatas mengenai pendidikan Islam, maka penulis mengambil perspektif maka pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berdasarkan tuntunan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah adalah penyempurna akhlak. Untuk itu untuk menyempurnakan akhlak diperlukan pembelajaran tentang akidah dan syariat Islam yang tidak menyimpang dari apa yang dilakukan Rasululah. Maka diperlukan kurikulum dengan proyek jangka pendek dan panjang. Proyek jangka pendek dengan mencatat ceramah-ceramah di acara-acara tabligh akbar. Sedangkan proyek jangka panjang dengan membuat kegiatan kelompok yang berkaitan dengan humanisme, yaitu bakti sosial, mengajar al-Quran ataupun bidang umum yang siswa-siswi mampu ke anak-anak yang mempunyai ekonomi menengah ke bawah. Hal ini diperlukan karena mata pelajaran agama Islam hanya didapat seminggu sekali di Sekolah Menengah Atas Negeri.
            Selain itu metode pengajaran agama perlu diperhatikan oleh guru-guru agama Islam di sekolah tempat mereka mengajar. Al-Nahlawi memberikan metode pengajaran agama Islam yang efektif dan efisien sebagai berikut:[8]
-          Metode hiwar Qurani dan Nabawi ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak dibatasi; dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan lain-lain. Kadang-kadang pembicaraan itu sampai pada satu kesimpulan, kadang-kadang tidak ada kesimpulan karena satu pihak tidak puas terhadap pihak lain.
-          Metode kisah Qurani dan Nabawi adalah metode yang dapat menyentuh hati manusia karena kisah tersebut menampilkan tokoh dalam konteksnya menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, pembaca atau pendengar dapat dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya.
-          Metode Amtsal adalah metode perumpamaan yang digunakan guru sebagai penyadaran sebagai siswa-siswi yang diajarnya. Metode ini tentu saja sama dengan metode kisah yaitu dengan berceramah atau membaca teks. Sebagai contoh guru  menjelaskan kepada anak didiknya tentang surat Al-Ankabut ayat 41, Allah mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba:
“Perumpamaan orang-orang yang berlindung kepada selain Allah seperti laba-laba yang membuat rumah; padahal rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba”
-          Metode peneladanan yaitu seorang guru harus memperlihatkan teladan bagi murid-muridnya. Karena murid-murid cenderung meneladani pendidiknya; ini diakui oleh semua ahli pendidikan, baik dari barat maupun dari timur. Pada dasarnya adalah karena secara psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelek pun ditirunya.
-          Metode pembiasaan adalah pengulangan. Jika guru setiap masuk kelas mengucapkan salam, itu telah dapat diartikan sebagai usaha membiasakan Bila murid masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan agar bila masuk ruangan hendaklah mengucapkan salam, ini juga satu cara membiasakan.
-          Metode ibrah dan I’tibar adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun metode mau’izah adalah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.
-          Metode targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah. Tarhib demikian juga, akan tetapi tekanannya adalah targhib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar menjauhi kejahatan,
-          Metode pepujian yaitu metode bagaimana seorang guru mengenalkan kepada murid-murid tentang shalawat nabi Muhammad dan kalimat thayyibah agar dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
-          Metode wirid yaitu murid diajarkan pengucapan doa-doa, berulang-ulang. Lafal doa itu bermacam-macam. Biasanya dibaca tatkala selesai salat. Ada juga wirid berupa zikir, ada juga dibaca berulang-ulang dalam jumlah tertentu.
Jika metode-metode tersebut dijalankan oleh guru Pendidikan Agama Islam maka akan menghasilkan murid-murid yang Islami. Artinya murid-murid tersebut akan membawa kesan bahwa dengan mempelajari agama Islam akan menambah kebaikan dan kesadaran untuk menumbuhkan sifat kenabian. Sifat kenabian tersebut mencakup shidiq, amanah, tabligh, dan fatonah.




[1] Collin  McIntosh et. al., Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Cambridge University Press: 2013), P. 1611
[2] Ali Mudlofir, Pendidik Profesional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2012), hlm. 120
[3] Op.Cit, 121
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 119-120
[5] Ibid, hlm. 127-128
[6] Abdul Qadir, At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fun At-Tadris, (Cairo, Dar Al-Salami, 2008), hlm. 13
[7] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia: 1998), hlm. 5
[8] Ibid, hal. 202-223



Posting Komentar

0 Komentar