Masyarakat Menurut Cendikiawan Muslim oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si



Masyarakat  adalah  kumpulan  sekian  banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama.[1] Pengertian ini menunjukan bahwa  individu-individu  harus tunduk pada peraturan-peraturan yang ada di lingkungan hidup mereka. Adapun  peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis dan tidak tertulis. Kedua tipologi itu harus ditaati agar kehidupan bisa dijalani bersama.
Masyarakat di dalam Ensklopedia Indonesia yaitu menunjukkan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan ciri sendiri (indentitas) dan suatu otonomi (relatif), seperti masyarakat barat, dan masyarakat Amerika.[2] Acuan masyarakat pada pengertian ini yaitu karakter individu-individu yang dipengaruhi letak geografis. Melalui karakter inilah arbitrase (penentuan-penentuan) hukum  bisa disesuaikan layak tidaknya digunakan pada masyarakat tersebut.
Dari definisi-definisi diatas bahwa penulis mengambil kesimpulan bahwa masyarakat harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1.     a. Harus ada  sekumpulan manusia
2.      b.Telah bertempat tinggal dalam waktu lama di daerah tertentu
3.      c. Adanya aturan-aturan yang mengikat mereka untuk menuju kepentingan bersama.
Bila kita melihat sejarah bahwa masyarakat Arab di masa jahiliyah  terbagi dua macam masyarakat badui dan masyarakat hadar. Masyarakat badui tinggal di padang pasir. Masyarakat hadar tinggal di desa dan  kota-kota. Di kota di bangun rumah-rumah dari batu-batu dan gypsum. Sedangkan di desa dibangun dari lumpur dan tanah liat.[3]
Dari latar historis tentang masyarakat jahili diatas bisa diambil satu  prespektif  kehidupan masyarakat badui terlihat sederhana dan konservatif. Sisi kesederhanaan masyarakat badui itulah  prinsip apa adanya dan ditambah pembicaraannya kadang  agak kurang sopan. Sedangkan masyarakat hadar yaitu bisa dikatakan masyarakat yang mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Karena itu masyarakat hadar umumnya diduduki oleh qabilah-qabilah dari kaum bangsawan.
            Namun  Ibnu  Khaldun  berpandangan bahwa perbedaan ihwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara mereka memperoleh  penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah untuk saling membantu  dalam  memperoleh  penghidupan, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sederhana, sebelum mereka mencari kebutuhan yang tinggi.[4]
            Titik terberat bagi suatu negara bahwa ada kesenjangan antara masyarakat kota dan masyarakat desa. Oleh karena itu  Rasulullah  meletakkan asas-asas penting bagi suatu negara agar kesenjangan tersebut tidak ada satu  sama  lainnya . Asas-asas tercermin pada tiga faktor:[5]
·         Pembangunan masjid
·         Mempersaudarakan sesama  kaum muslimin secara umum serta kaum muhajirin (masyarakat desa) dan kaum anshar (masyarakat kota) secara khusus
·         Membuat perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan sesama muslimin dan  menjelaskan hubungan mereka dengan orang-orang diluar Islam secara umum dan dengan kaum Yahudi secara khusus.
      Ketiga asas ini merupakan cara menciptakan keharmonisan antara masyarakat desa dan kota. Terkadang  masyarakat kota yang sudah  mengalami modernisasi menganggap masyarakat desa hanya mampu hidup apa adanya. Namun disini Rasulullah menginginkan bahwa perbedaan diganti oleh saling membantu  satu sama lain. Dengan demikian persatuan  dan  kesatuan bisa terlaksana dengan utuh. Klimaksnya dari aspek-aspek tersebut yaitu masjid sebagai sarana masyarakat kota dan desa berbondong-bondong untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Pelaksanaan kesatuan masyarakat berlanjut hingga ke zaman Imam Syafii, setiap dari mereka berkumpul untuk menyatukan presepsi, yaitu mendirikan negara Islam. Mereka berfikir bahwa mereka satu tubuh, satu ruh, satu visi, dan satu pandangan. Sehingga tercipta bertekad yang kuat yaitu membawa panji umat islam, yaitu dengan ruh persaudaraan Islam.[6]
Persaudaran  muslim melalui masyarakat perlu dibentuk. Adapun  pembentukannya melalui upaya kedisiplinan. Kiat-kiat untuk mendisiplinkan masyarakat ada empat kiat yang dapat  diterapkan demi mencapai tujuan. Pertama, keluarga sebagai unit kecil di dalam masyarakat yang berperan penting untuk membentuk watak anak-anak di rumah. Bimbingan kedua orangtua terhadap putri-putrinya  Kedua, melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal, guru (sekolah umum) dan ustadz atau kyai – yang memiliki kedudukan sentral sebagai pembimbing murid dan paraa santrinya, dapat sangat efektif menanamkan kebiasaan tertib sosial dan hukum. Ketiga, adalah lingkungan masyarakat- dimulai dari kehidupan antar tetangga di kampung saling berkepentingan menjaga ketertiban, keteraturan, kelancaran, keamanan, dan keselamatan bersama. Keempat, negara sebagai pengayom masyarakat memberikan bimbingan dan pengawasan secara nasional terhadap semua proses pendidikan disiplin di semua strata masyarakat itu.[7]


[1] Quraish Syihab, Op.cit, hlm. 319
[2] Hassan Shadily (et.al), Ensklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru, 1985, hlm. 2166
[3] Syafruddin Tajuddin (et.al), al- Adabu al-Arabiy fi u’surihi al-Mukhtalifah, Jakarta: UNJ, 2011, hlm. 32
[4] Ibnu Khaldun, Muqqadimah, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2001, hlm. 174
[5] Said Ramdhan Al-Buthi, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robani Press, 1999, hlm. 185
[6] Achmad Nachrowi Al-Indunisi, al-Imam as-Syafii fi mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid, Jakarta, 1994, hlm. 101
[7] Mochammad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm 246



Posting Komentar

0 Komentar