Hakikat Kewalian


Fenomena wali di masyarakat modern masih ada. Sampai kepercayaan untuk mendapatkan pencerahan dari seorang wali tersebut sangat dinantikan bagi orang awam . Penulis akan menelusuri hakikat kewalian dan istilah sufisme yang dijalani seorang wali tersebut. Pengertian wali secara etimologi yaitu seseorang yang dianggap suci yang mengikuti kehendak Allah.[1] Dari pengertian tersebut bahwa seorang wali mempunyai totalitas untuk mentauhidkan Tuhan dan menyatakan kecintaan penuh untuk menjalankan taqwa.  
            Wali secara terminologis  adalah mereka yang dikaruniai karamah oleh Allah SWT maka mereka akan bertambah taat, patuh, rendah diri dan selalu mawas diri, begitu pula mereka akan berlaku pasrah menerima apa-apa yang ditimpakan Allah terhadap diri mereka.[2] Prespektif tersebut terlihat bahwa seorang wali mempunyai kehidupan yang cukup berbeda dengan orang biasa karena kedekatan dirinya dengan Tuhan sudah mencapai tahap tajalli. Seorang wali yang sudah mencapai tahap tersebut telah memperoleh dua maqam asrar kesufiaan :[3]
1.      Maqam al-fana fi-t tawhid, yaitu lenyapnya segala yang ada dari pandangannya secara utuh (idmihlalul kainat) tapi ia masih mengekui keberadaan dirinya sendiri. Pada maqam ini, ia terserap ke dalam “keesan” Tuhan. Yang memperoleh maqam ini adalah  orang-orang pilihan (al-khawas)
2.      Mawam al-fana fil fana fit-tawhid, yaitu dimana seorang sufi (wali) dapat gaib (hilang, lebur, dan larut) dalam wujud Tuhan. Ia bukan hanya tidak sadar akan dirinya bahkan ia juga tidak sadar akan fananya.  Yang memperoleh maqam ini adalah pilihannya orang pilihan.
Adapun klasifikasi dan hirarki penerima pencerahan ilahi (wali) terbagi enam tingkatan. Tingkat dasar adalah akhyar berjumlah 300 orang, tingkat abdal berjumlah 40 orang, tingkat abrar 7 orang, yang tertinggi adalah Quthb atau Gawts 1 orang.[4] Semua wali di dunia saling berhubungan satu sama lain di dalam alam arwah. Maka seorang wali yang sudah sampai tingkatan al-Quthb maka wali tersebut bisa mengamati dan bahkan memimpin wali-wali lain agar tidak kelu ar dari jalur syariat.
            Ibnu Arabi mengemukakan bahwa wali kata bentukan dari (WLY) yang berarti nusrah, atau bantuan, baik bantuan yang diberikan Allah kepada mahluk ciptaannya, bantuan yang diberikan sesama umat untuk saling menolong, maupun bantuan yang dipersembahkan umat kepada Allah ketika menjadi penolong.[5] Dari pengertian tersebut termaktub dengan jelas bahwa seorang yang dibelri gelar wali yaitu telah mendapat bantuan illahiyah bukan istidraj. Artinya bantuan tersebut diberikan oleh Allah karena telah menjalankan  kecintaan dan kasih sayang kepada-Nya dalam mendapatkan kesatuan yang luhur dan tinggi. Sebagaimana ungkapan Rabiah Adawiyah yang mempunyai jiwa cinta yang tinggi kepada Tuhan. Kemudian ia ekspresikan kecintaannya lewat bait-bait:
Aku cinta kepadaMu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena engkau memang layak dicinta.
Cinta karena diriku
Adalah keadaanku senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu
Adalah keadaanMu mengungkapkan tabir hingga engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
Bagimulah pujian untuk kesemuanya.[6]


[1] Yusuf Muhammad, Kamus at-thulab, Lebanon: Darul Fikr, 2006, hlm 779
[2] Abu Bakar al-Kabadzi, Ajaran Sufi-Sufi, Bandung: Pustaka, 1995, hlm 81
[3] Fauzan Muslim, Lap. PenAjaran Tasawuf Wahdatul Wujud Ibnu Allan, Jakarta : Universitas Indonesia, hlm. 50
[4] Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Pustaka 2011. Hlm 27
[5] Henri Chambert Loir, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, Jakarta: Serambi. 2007, hlm. 25
[6] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Jakarta: Mizan. 2009, hlm, 301



Posting Komentar

0 Komentar