MENJAWAB LARANGAN ZIARAH KUBUR BAGI SALAFI oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)



Kaum salafi menyikapi orang yang telah meninggal seperti patung. Sehingga manusia tidak bisa lagi berh
ubungan dengan orang yang sudah meninggal. Mereka meyakini bahwa orang yang sudah meninggal tidak bisa mendengar dan tidak memiliki perasaan apapun terhadap orang yang menziarahi makamnya.[1] Pemahaman wahabi tersebut berkisar pada dalil naqli saja. Hal tersebut bertentangan dengan hadis nabi Muhammad saw : “Tidaklah ada seorang hamba yang melewati kuburan saudaranya, yang ia ketahui ketika di dunia, lalu ia mengucapkan salam kepadanya, kecuali orang (yang telah mati) itu mengetahuinya dan menjawab salamnya.” Dari hadis tersebut terlihat jelas bahwa Allah mengembalikan ruh seseorang yang telah meninggal guna menjawab salam atas saudara yang masih hidup. Berarti pemahaman salafi keliru atas orang yang sudah meninggal itu tuli, bisu, dan tidak merasakan kehidupan dunia.
            Dari pernyataan salafi tersebut bahwa seseorang yang meninggal tidak dapat mendengar dari kehidupan dunia berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah (seorang tokoh panutan salafi). Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya seseorang : apakah seseorang yang telah meninggal masih bisa mendengar ? Dia menjawab “dengan mengucap Alhamdulillahi rabbil a’laamin, saya jawab: ‘iya!’ Orang yang meninggal secara umum masih bisa mendengar.” Dia lalu menyebutkan hadis-hadis untuk mendukung jawabannya. Setelah ia menyebutkan hadis tentang salam kepada ahli kubur, dia berkata, ini adalah bentuk dialog kepada mereka. Dan dialog itu hanya bisa dilakukan kepada orang yang bisa mendengarnya.”[2] Pernyataan dari Ibnu Taimiyah tersebut bertentangan dengan kaum salafi pada zaman sekarang ini. Sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa benarkah kaum salafi masih mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah.
            Perkara selanjutnya  penulis akan melihat ziarah kubur sebagai kegiatan yang , memberikan dampak  positif bagi orang yang masih hidup. Karena akan mengingat bahwa dirinya akan meninggal. Asal muasal fenomena ziarah kubur di dunia Islam memang belum terungkap, namun tidak disangkal bahwa fenomena tersebut banyak meminjam dari tradisi Yahudi dan Kristen sudah lama bercokol sebelumnya di daerah-daerah seperti Palestina, Suriah, dan Mesir, dimana Islam berkembang tidak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad.[3] Ziarah kubur memang pada awalnya ziarah kubur  mendapat pelarangan dari nabi Muhammad sendiri. Karena kondisi iman di kala itu masih percaya kepada hal-hal gaib dan pengkeramatan. Namun pada akhirnya nabi menganjurkan ziarah sebagai pengingat kepada seseorang yang masih hidup ketika iman dan islam umat muslim sudah kafaah. Sebagaimana sabda nabi Muhammad :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الآخرة، ولا تقولوا هجرا. [رواه الحاكم]

Artinya :
“Aku (Nabi) dulu melarang kamu ziarah kubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu, karena ziarah kubur itu bisa melunakkan hati, bisa menjadikan air mata bercucuran dan mengingatkan adanya alam akhirat, dan janganlah kamu berkata buruk”. (HR. Hakim)

            Masyarakat Indonesia menjalankan praktik ziarah kubur yaitu dengan adanya pembacaan surat Yasin dan dzikir-dzikir yang dikirimkan untuk ahli mayyit . Namun menurut kaum salafi hal tersebut tidak ada artinya dan pembacaan surat Yasin tidak sampai kepada ahli mayyit. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan hadis nabi Muhammad saw : [4] “ Siapa yang memasuki perkuburan-perkuburan lalu membaca padanya surah Yasin, niscaya diringankan bagi mereka ketika itu, dan baginya kebaikan-kebaikan sebanyak jumlah mereka.”

            Memang bagi seorang yang hidup kita belum merasakan bahwa pembacaan ayat-ayat al-Quran dan zikir-zikir bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal. Kisah tersebut banyak dialami oleh para ulama sebagai pelajaran bahwa pembacaan ayat-ayat suci dan zikir-zikir tersebut menjadi penolong bagi ahli mayyit. Sebagaimana kisah Syabib bin Syaibah : ketika ibuku mengalami sakaratul maut ia berkata kepadaku : Wahai anakku ! Setelah selesai kau menguburkanku, hendaklah kau berdiri di sisi kuburku, dan ucapkanlah : Wahai ibuku ! Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah ! Lalu setelah aku selesai menguburkannya, aku berdiri di sisi kuburnya dengan menyeru Wahai ibuku ! Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah ! dan aku membaca pula Laa ilaha Illallah, lalu aku pun pulang. Pada malam hari aku bermimpikan ibuku memberitahuku : Wahai anakku ! aku hampir celaka, kalu tidak karena seruan Laa Ilaaha Illallah yang kau ucapkan itu. Terima kasih, wahai anakku ! Kau telah melaksanakan pesanku.[5]





[1] Ali Jum’uah, Menjawab Dakwah Kaum Salafi, Jakarta : Khatulistiwa, 2013, hlm 185
[2] Op.cit, hlm 189
[3] Chambert Loir (et.al), Ziarah & Wali di Dunia Islam, Jakarta: Serambi, 2007, hlm 10
[4] Ali Jum’uah, Kupas Tuntas Ibadah-Ibadah yang diperselisihkan, Jakarta: Khazanah Intelektual, 2007,  hlm 196
[5] Ibnu Qayyim, Roh, Singapore : Pustaka Nasional, 2007, hlm 24



Posting Komentar

0 Komentar