Biografi Jalalludin Rumi by Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

Jalaluddin Rumi atau dengan sebutan Maulana Al-Rumi, lahir tanggal 6 Rabiul Awal 604 atau 30 September 1207 M, di Balkh, yang saat itu masuk wilayah kerajaan Kwarizmi yang beribukota Bukhara. Khawarizimi merupakan dinasti sunni dari dinasti Mamluk. Sejak abad ke 12 M, Balkh merupakan salah satu pusat penting kebudayaan Persia dan pusat kegiatan intelektual Islam yang amat dibanggakan.[1] 
            Pada umur tiga tahun Rumi dibawa ke Khurazan, kemudian ke Nisyapur, Iran. Selama itu bimbingan ayahnya Muhammad Ibnu Hussain al-khatibi alias Bahaudin Walad kepadanya berupa belajar al-Quran dan Sejarah. Ketika Rumi berumur 7 tahun, Keluarga Rumi bertemu Fariduddin ‘Atar. Attar sangat terkesan terkesan pada Rumi kecil dan meramalkan bahwa Rumi akan menjadi ulama besar terkemuka.[3] Kesan beliau antara lain  karena Rumi sudah bisa menghafal beberapa surat di dalam al-Quran dan sejarah tentang Islam. Ketika itu pula Rumi dihadiahkan kitab oleh Attar yaitu Asrar Namah. Di dalam kitab tersebut berisikan hikmah-hikmah kehidupan yang harus diungkapkan oleh jiwa-jiwa pecinta Tuhan.
II.3 Pemahaman Rumi terhadap Tasawuf
            Agama merupakan kepercayaan atau media untuk menuju Tuhan. Biasanya manusia tanpa agama akan kering memaknai hidup. Seperti pepohohohan yang tidak menikmati indahnya siraman air dan pupuk. Rumi mendapat pendidikan agama pertama kali di Anatolia sejak pertemuan dengan Fariruddin Attar. Selama dalam pengajarannya, Attar berkata Jalaluddin Rumi akan menyalakan api cinta ketuhanan dan menghimbau dunia.[4] Api cinta akan tercipta apabila seseorang memasuki asma-asma Tuhannya sehigga sifat su’ pada dirinya ditanggalkan. Dari api cinta yang menyala maka dirinya akan menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada orang lain.
            Attar’ membimbing Rumi dengan ilmu-ilmu agama yang mencakup ilmu fiqih, hadis, usuludin, bahasa Arab dan Sastra Arab, sejarah Islam, Falsafah.[5]  Rumi  juga mendalami ilmu syariat kepada Majdudin Sana’I al-Ghazali. Setelah ilmu syariat itu terpenuhi Majdudin menambahkan ihwal tentang tasawuf sebagai lambang penyucian jiwa dan hati  dari sifat-sifat tercela pada diri Manusia.
Dengan pengetahuan ilmu-ilmu tersebut Rumi mengetahui tentang syariat Islam, dan menjalaninya dengan penuh kehati-hatian di dalam menjalankan kehidupan. Kehati-hatian tersebut membuat Rumi berfikir apakah dengan kehati-hatian dirinya dekat dengan Tuhannya. Karena ilmu syariah merupakan simbolisasi zhahirnya keadaan diri dalam perjalanan manusia mengenal hukum Allah. Maka dari itu Rumi tertarik mempelajari tasawuf sebagai ilmu yang mengenal Tuhan lebih dekat dari biasanya. Hal tersebut setelah ia  membaca tulisan-tulisan ayahnya bahwa di dalam tulisan tersebut berisikan bahwa betapa nikmatnya dekat dengan Tuhan melalui beberapa tahapan-tahapan sehingga menuai tahapan mistik tertinggi, sesuatu yang sensual, suatu cinta yang sempurna kepada Tuhan, sampai ia berada dipelukanNya, dan dia menyadari aktivitas mencintai Tuhan ada di dalam kehidupannya.[6]
Pada Tahun 1232, ketika Rumi telah tinggal di Konya, datanglah ke kota itu seorang sufi terkenal sufi terkenal bernama Syekh Burhanuddin al-Muhaqqiq al –Tirmidhi. Dia mendapat sambutan yang hangat dari penduduk yang ingin mempelajari tasawuf.. Rumi yang baru satu tahun menggantikan ayahnya sebagai pemimpin madrasah juga tertarik dengan ilmu tasawuf tersebut. Di bawah bimbingan Syekh Burhanuddin al-Tirmidhi, Rumi mempelajari tasawuf secara tekun dan penuh nikmat.[7]
Pada tahun 1241 ketika ia kembali ke Konya, ia segera masyhur sebagai guru agama dan ulama yang pengetahuan luasdan mendalam. Madrasah yang dipimpinnya mempunyai lebih dari seribu murid. Untuk murid-murid secara umum ia hanya mengajar ilmu fiqih dan usuluddin. Sedangkan untuk murid-murid terpilih ia mengajarkan ilmu tasawuf, ilmu tafsir, dan fasalfah.[8] Hal ini bukan adanya pandang bulu bagi murid-murid yang diperhatikan oleh Rumi. Hanya saja ilmu-ilmu khusus diberikan kepada murid-muridnya yang telah mampu pada tahap syariat agama.
Proses pendidikan pertama yang diajarkan Rumi adalah penguatan kepada syariat agama yang mencakup aspek kognitif. Aspek tersebut meliputi pembelajaran fiqih dan usuludin. Apabila jenjang tersebut telah dilewati maka aspek afektif dan psikomotorik ditentukan apabila aspek kognitif sudah terpenuhi secara maksimal. Karena aspek afektif dan psikomotorik berlakunya pemilihan keputusan, ketentuan, dan kebijakan terhadap yang dipelajari seorang murid. Maka aspek-aspek tersebut dimaknai oleh adanya pembelajaran ilmu tasawuf, ilmu tasawuf, dan fasalfah.
II.5. Pertemuan dengan Guru Abadi
            Perjalanan spiritual seseorang mustahil tanpa guru. Karena guru membimbing dan mengarahkan murid untuk menjadi seseorang yang menyikapi secara bijak apa yang telah dipahaminya sehingga kejanggalan-kejanggalan bukan menjadi masalah formalitas padanya. Sewaktu Rumi menjadi guru, ia bertemu dengan Syamsi Tabriz. Suatu ketika, Al-Tabriz bertanya kepada Rumi : “Apakah yang engkau ajari kepada murid-murid-mu ?”. “Aku mengajarkan ilmu syariat.”, kata Rumi. “Apakah tidak lebih baik anda mengajrkan tentang yang memiliki syariat itu?”, Tabriz menyusul.[9]
Jalaludin Rumi menjadi berubah drastis, dari pecinta musik, sastra, seni, dan ilmu kepada cinta kepada Ilahi seutuhnya. Lalu sejak itu dia memutuskan untuk memperdalam ilmu tasawuf dengan Al-Tabriz agar dirinya bisa lebih dekat dengan Tuhan. Pendekatan dengan Tuhan dilakukan dengan cara berkhulwat dengan Syamsuddin al-Tabriz dalam satu kamar selama 40 hari, tanpa dimasuki seorang pun,

Hubungan antara Guru-dan Murid, bagi Rumi merupakan hubungan persahabatan yang penuh harum dan cinta. Dari persabatan keduanya akan melihitkan sikap kearifan dan bijak di dalam hidup. Kisah yang tak akan mampu di penuhi akal yang dipenuhi nafsu.[10] Maka kisah Rumi dengan al-Tabriz banyak menghasilkan karya-karya terbaiknya dalam mengungkapkan pentingnya guru sebagai teman keabadian. Puisi eksotiknya ia tuangkan ke dalam bait untuk memuji gurunya.
Karena Bangga diri dan buta hati seperti  iblis, manusia ini tak lagi memuliakan orang suci. Katanya , “Bagi Tuhan saja, Sujud Ku persembahkan”.
Padanya Adam memberikan jawaban, “Sujud kepadaku ini untuk-Nya. Kau melihatnya berupa dua sujud karena ketersesatan dan ketersesatan.
Ungkapan Rumi ini sangat tajam yaitu berapa banyak manusia tidak tahu esensi seorang guru yang mengajarkan ilmu agama sehingga ketaatan kepada guru menjadi keberpalingan. Adam dalam ungkapan tersebut mencerminkan seorang guru Tabriz yang telah memberikannya jalan kepadanya untuk lebih dekat kepada Ilahi. Maka tidak salah seseorang murid menghormati guru secara hiperbolik karena guru merupakan kunci bagi yang mau dekat dengan nurullah. Begitu eratnya hubungan seorang murid dengan guru sehingga pertemuan demi pertemuan memberikan suasana baru bagi keduanya. Rasa tersebut yaitu memaknai bahwa keterkaitan dengan guru bisa menyikapi hikmah-hikmat yang tersirat.
            Rasa kecemburan murid-murid Rumi kepadanya datang karena kekaguman gurunya kepada al-Tabriz.. Ketika al-Tabriz terbunuh dalam sebuah huru-hara, duka Rumi tak terlipur dan dia menghabiskan waktu bersama musik-musik dalam mengenang guru tercinta dan tarian mistikal.[11] Dia mampu secara imajinatif metransformasikan ke dalam simbol tentang cinta ilahiah tentang kerinduan Allah kepada manusia  dan kerinduan manusia kepada Allah.
II.6 Ajaran-ajaran dan Karya Rumi
          Ajaran-ajaran Rumi tidak terlepas dari aqidah, syariah, dan ma’rifat. Ajaran aqidah yang ia jalankan sebagai pemeluk Islam sejati dimana dia dapatkan sejak ia masih kecil. Lalu aqidah tersebut beranjak kepada syariat dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dengan beberapa guru. Sejak ia mendapatkan pengetahuan tersebut, ia mengajarkan ilmu agama yang ia kuasai seperti tafsir al-Quran, hadis, usuluddin, fiqih, tasawuf, bahasa dan sastra Arab, sejarah Islam, dan fasalfah. Ilmu-ilmu tersebut merupakan ilmu zahir menurut Rumi sehingga ia ingin lebih memperdalam ilmu bathin yang disebut tasawuf. Selain itu Rumi mengajarkan cara mengungkapkan pembicaraan dengan puisi-puisi dan prosa-prosa yang estetik namun mengandung kecintaan penuh kepada sang Ilahi. Karena menurutnya puisi-puisi adalah jalan lembut untuk sampai pada hakikat yang lembut sehingga balik kepada diri dengan lembut jua. 
            Dia meninggalkan karya terbesarnya yaitu Diwan (yang terdiri dari atas empat puluh enam ribu bait), dan al-Matsnawi ( yang terdiri dari dua puluh lima  ribu tujuh ratus ribu bait). Penulisan Matsnawi menghabiskan waktu tiga belas tahun. Di dalamnya terdapat kisah-kisah kepahlawanan, kisah-kisah yang lain, dan perenungan falsafi yang dimaksudkan sebagai usaha untuk menggambarkan sosok sufisme dan penafsirannya.[12] Adapun penulisan Matsnawinya setiap kali ia mendaptkan ilham, entah itu berdiri, berjalan, di kamar tidurnya, pada waktu siang atau malam.
Di dalam matsnawi,  Rumi ingin mengungkapkan bahwa tasawuf bukan ajaran yang menakutkan akan tetapi dengan bertasawuf manusia akan bisa menghargai diri sendiri, diri orang lain, ilmu, Tuhan sebagai penciptanya. Karena selama ini tasawuf dikenal dengan agama berbungkus simbol semata. Akan tetapi dengannya kita bisa tenang, damai, dan mencapai derajat kepatuhan dimata Tuhan.
Dari bebarapa ajaran Rumi, pemakalah melihat bahwa ia menganut paham tasawuf falsafi. Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telahmempengaruhi para tokohnya. Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujudkecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalahAllah. Mereka tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yangbersemayam diatas Arsy.Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya,setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah al~wujud, insan kamil, wujud mutlak.[13]
Hulul adalah satu konsepsi dan dasar teosofis yang dirintis oleh Al-Hallaj. Menurutnya  Tuhan mungkin menjelma kedalam insan, laksana bersatunya api dengan besi diwaktu sangat panasnya, apabila si insan telah sanggup menfanakan dirinya kedalam tuhan dengan pensucian roh. Waktu Roh Allah masuk ketbuhan insan, maka dikala itu segala perbuatan dan iradat insani tadi menjadi perbuatan dan iradat tuhan Allah. Tegasnya insane ain Allah atau allah ain insani. Apa lagi pernah pula ditegaskannya bahwa manusia pada hakekatnya adalah tuhan, sebab insane dicipta oleh tuhan menurut surahnya sendiri. Itulah sebabny kata beliau makanya tuhan memerintahkan kepada malaikat agar sujud kepada adam.

Istilah wahdah Al-wujud sangat dekat dengan pribadi Ibnu Arabi,sehingga ketika menyebut pemikiran Ibnu Arabi seakan-akan terlintas tentang doktrin wahdah Al-wujud sebenarnya wihdatul wujud bukan penyebutan aari ibnu arbai sendiri melainkan sebutan yang dilontarkan  oleh musuh bebuyutannya yaitu Ibnu taimiyah.
Pengertian ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi adalah; ittihad adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu.Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana didalamnya terjadiproses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari katawahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi ittihad artinya bersatunya manusia dengan Tuhan.
Adapun konsep Insan Kamil yaitu menjadi manusia yang sempurna dengan tidak terlepas dengan zat Allah. Artinya terus-menerus melakukan ibadah, diamnya menjadi ibadah, geraknya ibadah, perkataannya ibadah, segala kegiatannya adalah ibadah. Dari efektifitas dan eksitas seseorang di dalam hidup hanya untuk beribadah maka pancaran iluminasi menjadi dekat dan dekat[14]
Wujud mutlak adalah maqam penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang dari selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah mereka yang melampaui penyaksikan kehadiran Allah dalam perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya. Tanda kemusnahan di dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya.[15]
Hulul pada diri Rumi yaitu bagaimana cara mengenal asmaul husna sebagai nama-nama Tuhan yang baik. Dari pengenalan itu Rumi akan mencoba menjalankan asma-asma Tuhan tersebut di dalam kehidupan di dunia sehingga perjalanan dirinya seolah merupakan petunjuk dari cahaya ilahi. Wahdatul wujud Rumi terjadi jika ia melakukan tarian-tarian darwisnya. Tarian-tarian yang diiringi dzikir-dzikir kepada keesaan Tuhan. Di dalam zikir-zikir tersebut menimbulkan penyelaman spiritual yang amat dalam sehingga ucapan dirinya terasimilasi dengan perbuatan dan perkataan Tuhan. Ittihaad pada diri Rumi ketika refleksi diri memasuki ekstasi yang tajali, dalam keadaan tersebut dia menyingsingkan tulisannya berbentuk puisi dan prosa yang mencerminkan Tuhan adalah hakikat terbaik di dalam hidup ini. Wujud mutlak pada diri Rumi terjadi jika akal dan perasan dirinya memiliki persamaan kosep dengan Tuhan sehingga kualitas dirinya sama dengan kualitas presepsi-Nya.
II.7 Rumi dan tarekat Maulawiyahnya.
          Thariqah pada awalnya mengacu pada silsilah sufi yang berkaitan dengan seorang syekh kemudian melalui proses pelembagaan yang panjang, thariqah bergeser artinya menjadi apa yang disebut oleh orang barat “persaudaraan” atau ordo “sufi”.[16] Dzun nun Al-Mishri berperdapat bahwa perjalanan tersebut melalui sejumlah “perhentian” (Maqamat, bentuk maqam) yang jumlah dan namanya berubah-ubah. Perhentian disini adalah bagaimana seorang sufi  berkesadaran bahwa perhentian terakhirnya ke pangkuan ilahi.
            Munculnya tarekat yaitu adanya seorang tokoh yang mempunyai keilmuan tasawuf yang cukup tinggi. Dari keilmuannya tersebut, tokoh tersebut membuat jalan hakikat menuju Tuhan dengan cara bertarekat.[17] Tokoh tersebut juga memiliki peranan yang tinggi di masyarakatnya sehingga pengaruh dirinya amat besar atas masyarakat suatu negeri. Pengaruh tersebutlah yang membuat masyarakat menganggap tokoh tersebut telah menjadi wali atau pelindung umat.
            Tarekat sufi yang telah didirikan Rumi Ialah Maulawiyah, yang anggota-anggotanya di barat dikenal sebagai “darwis-darwis yang berputar” sebuah metode konsentrasi. Ketika seorang sufi mengambil gerakan-gerakan berputar, dia merasakan batas-batas dirinya larut bersamaan dengan larutnya bersamaan dengan larutnya ke dalam tarian itu. Mengantarkan ambang peniadaan diri (fana).[18] Pada tarian darwis bukan hanya dalam bentuk tarian saja akan tetapi ada music-musik khusus untuk mencapai ekstase diri (keadaan tidak sadar). Tarian itu memberi pelajaran bagi manusia untuk hidup bergerak di dalam pencarian kepada Tuhan. Pergerakan tersebut mengandung nilai filosofis yang berarti pergerakan-pergerakan tersebut harus mencapai keadaan fana pada diri. Dari keadaan fana tersebut seorang darwis akan merasakan kelembutan sentuhan Tuhan dan bisa melihat realitas diri yang jauh dari harapan Tuhan.
         

           



[1] Jalaludin Rumi, Diwan Syamsi Tabriz, Jakarta: Jalasutra, 1977, hlm 1
[2] www.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Balkh diunduh pada 5 Desember 2013, Pukul 12:48
[3] Op.Cit, hlm 3
[4] Laily Mansur. Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: 1996, hlm 207
[5] Op,cit, hlm 5
[6] Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api, jakarta: Mizan, 2005, hlm 31
[7] Op.cit, hlm 5
[8]  Op.cit, hlm 5
[9] Op,cit, hlm 208
[10] Jalaluddin Rumi, Kisah Keajaiban Cinta, Jakarta: Kreasi wacana, 2003, hlm xii
[11] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Jakarta:Mizan, 2009, hlm 319
[12] Husyain Ahmad, Seratus Tokoh dalam Agama Islam, Jakarta: Rosnida, 1997, hlm 211
[13] Ibid.
[14] Muhammad Alwi, Insan Kamil, Bina Ilmu: Surabaya, hlm 227
[16] Op.cit, hlm 26
[17] Heri Chambert (et,al),Ziarah dan Wali dalam Islam,  Jakarta: Serambi, 2007, hlm 14
[18] Op.cit, hlm 319



Posting Komentar

0 Komentar