Hak Pendidikan yang Terabaikan bagi Minoritas

Keingintahuan merupakan jiwa reaktif manusia yang ingin mendapatkan sesuatu jawaban dari kondisi-kondisi kekosongannnya. Kondisi-kondisi itu harus memerlukan waktu untuk mencoba dan bertindak agar mendapatkan semua yang dikehendakinya. Melihat kenyataan tersebut kita bisa menilai bahwa keingintahuan manusia didasari dengan pengalaman manusia itu sendiri.
            Perolehan pengalaman manusia belum cukup dalam mengubah tingkah laku manusia. Karena tingkah laku merupakan aspek internal manusia yang bisa dinilai oleh lingkungan. Lingkungan akan berkata baik apabila manusia itu mempunyai tingkah laku yang baik pula. Kadang prilaku buruk yang dilakukan sekali kualitas manusia itu akan dipandang buruk. Maka untuk membenahi tingkah laku tersebut manusia perlu pendidikan.
            Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[1] Melalui pengertian tersebut bahwa pendidikan akan menghasilkan manusia yang bertanggung jawab untuk mengubah tatanan sosial di lingkungannya. Paling tidak, manusia yang telah memperoleh pendidikan melalui jalur belajar akan menyampaikan apa yang ia terima kepada masyarakat.
            Pertanyaan akan timbul ketika kita menilik kaum minoritas muslim di negara pengasingan. Apakah mereka mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama dengan kaum mayoritas. Minoritas Muslim tentu seringkali dianggap kaum lemah yang suara dan haknya seringkali diabaikan. Adapun bentuk tirani minoritas yang dihadapi kaum muslim di dalam mendapatkan hak  pengajaran dan pembelajarandi negeri pengasingan  :[2]
1.     عدم قدرته على الإندماج في الجو الإجتمائية في المدارس
2.      لفقر آبائهم فيخرجون من المدارس
Setelah melihat pernyataan tersebut bisa kita ambil beberapa hipotesa bahwa minoritas muslim tidak bisa bersosialisasi karena faktor perbedaan agama yang menyebabkan mereka selalu merasa rendah diri untuk bersaing dengan mayoritas di negeri mereka tinggal. Kerendahdirian ini bukan tanpa sebab. Hal ini terjadi karena teror dan ancaman bagi minoritas dari masyarakat mayoritas. Adapun kemiskinan yang membuat mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Kemiskinan tersebut membuat mereka dianggap kurang pantas untuk menaikan derajat hidup. Sehingga kaum mayoritas melihat kemiskinan minoritas hanya sebuah pelengkap penderitaan yang harus diusir dan dihabisi.
            Keberpihakan kepada kaum mayoritas menghilangkan kata keadilan bagi masyarakat minoritas. Keadilan dalam bahasa Arab klasik merupakan suatu gabungan nilai-nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan dan keterterusterangan.[3] Pendidikan itu merupakan perwujudan nilai moral dan sosial untuk mengubah cara pandang seseorang yang konservatif menjadi idealis. Akan tetapi kaum mayoritas menganggap apabila  kaum minoritas muslim mendapatkan hak pendidikan maka ia akan lebih maju dari mereka . Anggapan mereka, jika minoritas  muslim maju di negara mereka maka mayoritas yang ada akan menjadi kaum yang ditindas oleh minoritas tersebut.
            Walaupun hak dalam pendidikan tidak diraih secara baik bagi kaum minoritas muslim tapi upaya mereka tetap konsisten di dalam mengkaji ilmu itu sendiri dengan caranya. Upaya mereka antara lain :[4]
1.      Umat muslim berupaya mengajarkan bahasa Arab kepada anak-anak mereka.
2.      Mengayomi anak-anak mereka dengan menghafalkan beberapa jus di dalam Al-Quran
3.      Mengirim anak-anak mereka untuk belajar ilmu agama dan ilmu lainnya di surau 
        Kasus ini telah terjadi pada 29 Juli 2012 di Myanmar yaitu  minoritas etnis muslim Rohingya tidak mendapatkan hak pendidikan dikarenakan perbedaan agama. Contoh nyatanya yaitu sekolah-sekolah mereka dibakar dan ancaman mayoritas terhadap etnis tersebut yang sedang belajar secara sembunyi-sembunyi di rumah mereka sendiri. Kemana Hak Azazi Manusia yang selama ini bersuara tentang pembelaan terhadap hak yang tertindas ?
           


           




[1] Hamdani Bakar, Prophetic Intelligence. Islamika : Jogja. 2005. H. 573
[2] عبد الرحمن الفوزان. العربية بين يديك كتاب الطلاب 3. المكتب الرئيس العربية للجميع(المملك العربية السعودية : 2004 )، ص. 48
[3] Mohammad Baharun. Islam Idealitas islam Realitas. Gema Insani (Jakarta : 2012). H. 223
[4] Op.Cit. h. 48



Posting Komentar

0 Komentar