Agama dan Pencarian Tuhan


          Manusia hidup di bumi sebagai khalifah. Kekhalifahannya bentuk dari eksistensi untuk meraih kedamaian dan kesejahteraan.  Melalui perjalanannya, manusia memerlukan perlindungan kepada sesuatu agar  bisa menginterpretasikan apa yang telah diraih dalam bentuk syukur. Sejak itulah manusia mencari hakikat Tuhan melalui berbagai bentuk penyembahan yang dinamakan sinkritisme.

            Banyak bentuk penyembahan yang dilakukan oleh Manusia di masa lampau. Mulai dalam bentuk penyembahan kepada patung hingga makanan. Bentuk itu dulu dianggap sebagai medium untuk merasiokan kedekatan dirinya kepada Seng Pencipta. Melalui penyembahan itu manusia serasa ada perlindungan secara khusus dari benda yang dianggapnya sebagai penerima segala bentuk hajatnya.

            Seiring waktu berjalan kepercayaan itu mulai terkikis oleh datangnya agama sebagai konjugasi premier yang melembaga pada diri manusia. Agama lahir karena kebutuhan manusia yang rasionalis dan ekstensialis dalam pembenahan secara reflektif. Untuk mengetahui agama secara mendasar maka diperlukan satu analisis secara epistemologis agar pencerahan terhadap perbuatan linier dengan apa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.

            Religion is the belief in worship of a god or gods, or any such system of belief and system.[1] Dari pengertian tersebut maka bisa diambil satu presepsi bahwa manusia beragama harus mempunyai system sebagai standarisasi menuju Tuhan. Sehingga manusia dapat mengukuhkan dirinya sudah dekat dengan Tuhan.

            Agama berarti pada umumnya hubungan antara manusia dan sesuatu kekuasaan luar yang lain dan lebih daripada yang dialami manusia. Yang penting adalah bagian pengertian yang dianggap “suci” yang mendatangkan rasa Tunduk manusia kepada-Nya, dan memperlukannya dengan penuh khidmat , yang sebaliknya menarik manusia kepada-Nya, dan manusia itu mempercayai-Nya, dan mencintai-Nya serta meminta perlindungan kepada-Nya.[2] 

Melalui pengertian diatas bisa proposionalkan bahwa agama satu kebutuhan primer agar manusia bisa lebih terarah berkat bimbingan langsung dari Tuhan. Lebih dari itu dengan beragama maka penjagaan manusia terhadapnya bisa sama dengan penjagaan sang khalik kepada manusia

            II. Munculnya Agama dan Realitanya di Timur Tengah
            Setelah sebelumnya kit telah menemukan makna hakikat agama. Kali ini kita akan mengetahui munculnya agama dan realitanya  di Timur Tengah. Munculnya agama menampilkan empat faktor atau empat aspek  yaitu ritual, emosi, kesaksian iman, pertanggung jawaban rasional. [3]
            Dari pemaparan diatas adanya perihal satu ikatan diantara keempat faktor tersebut apabila satu faktor saja hilang maka kemunculan agama dianggap ragu di masa penemuannya. Sejak itulah ritual dianggap konsep dalam beragama yang  penting sehingga melahirkan ikatan emosi antara manusia dengan apa yang dipercayainya. Setelah emosi itu terbangun maka adanya baiat berupa kesaksiannya terhadap yang dipercainya dan unsure keluarannya yaitu adanya satu kiasan bahwa melakukan sesuatu dengan penjernihan akal yang konseptual sehingga datang pencerahan dari luaran.
            Masalah keberagaman ini mungkin muncul dari adanya kepercayaan yang arbitrer antara dirinya dengan apa yang dipercayainya. Sehingga realitas nyata akan dirasakan dalam bentuk tersirat dan tersurat. Spiritualitas telah menjadi ciri dunia Mesopotamia kuno. Lembah Tigris-Eufrat, yang berasa di wilayah pemerintahan Irak kini telah dihuni sejak 4000 SM oleh kelompok manusia yang dikenal dengan sebagai orang Sumeria. Mereka telah membangun salah satu kebudayaan oikumene (dunia peradaban) terbesar pertama.[4]
            Selain itu ada satu sisi menarik dari agama atau kepercayaan yang dipercaya sebelum adanya agama samawi datang yaitu anggapan dewa-dewi itu sebagai simbol yang musti diaggungkan atau dihormati. Dimana dewa-dewi tersebut dipercaya akan mengabulkan permintaan orang yang menghormati mereka.
            Orang Mesir prasejarah, sebagaimana kebanyakan orang kuno, menuruh hormat bercampur heran kepada keajaiban alam serta ciri-ciri binatang yang menakutkan atau mengagumkan – kebuasan singa, kekuatan buaya, kemesraan sapi merawat anaknya. Di samping binatan, yang membangkitkan rasa takut bercampur kagum pula bagi orang Mesir ialah perwujudan alam. Di antara objek pemujaan orang Mesir, ada satu yang jauh lebih dihormati, yakni matahari.[5]
            Melihat kepercayaan sebelum datangnya emanasi agama di timur tengah adalah bukti bahwa manusia membutuhkan kehadiran hubungan spiritual yang diimplementasikan melalui bentuk pemujaan dan penghormatan kepada sesesuatu yang dianggap magis. Ada diantaranya bentuk penghormatan tersebut dengan dipeliharanya binatang di kuil dan dimanjakan dengan segala kemewahannya, dan pemujaan terhadap Matahari sehingga penduduk setempat bangun sebelum matahari terbit agar Matahari tersebut bisa disembah dan dipuja.
            Setelah itu datang ajakan ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakan priode baru dari tuntunana tentang Ketuhanan yang Maha Esa. Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai Bapak Para Nabi, “Bapak Monoteisme”, serta “Ploklamator Keadilan Ilahi” karena agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk pada agama beliau.[6]  Oleh karenanya dunia Arab berubah secara drastis dari kepercayaan-kepercayaan yang tidak bisa dilembagakan menuju agama monoteisme.
            Agama yang dianut orang Arab, setelah agama Yahudi dan Kristen merupakan agama terbesar ketiga dan agama monoteis terakhir. Secara historis Islam merupakan penerus kedua agama sebelumnya, dari semua agama lain di dunia, Islam memiliki hubungan yang paling dekat dengan kedua agama tersebut.[7
            Dari perihal di atas kita dapat tahu agama yang dianut kebanyakan  manusia berasal dari spiritual Smith. Implikasinya manusia dibelahan manapun tidak berhak mencap bahwa spiritual smith dibawa melalui jalur kepentingan imperative diri. Melainkan terciptanya secara naluriah bangsa arab yang menginginkan  pesona yang dinamis dalam kehidupan di masa  lalu dan dibawa ke dalam bingkai masa depan.




[1] Colin MCintosh, (et al), Cambridge Advanced Learner’s, Cambridge University Press. 2013. P 401
[2] Hassan Shadily, Ensklopedi Indonesia, PT. Ichtiar Baru- Van Hoeye, Jakarta. 1968.  H. 104
[3] Alferd North Whitehead. Mencari Tuhan Sepanjang Zaman. Mizan, Jakarta, 2009. H. 6
[4] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Jakarta, 2009, h.31
[5] Lionel Casson. Abad Besar Manusia Mesir Kuno. Pt tira Pustaka. Jakarta, 1972. H. 71-72
[6] Quraish Syihab. Wawasan Al-Quran. Mizan. Jakarta. 1992. H. 21
[7] Philip K. Hitti. History Of Arabs. Serambi, Jakarta, 2005. H. 4




Posting Komentar

0 Komentar