Hukum Ojek Wanita


A.       Pengertian Ojek
Seperti yang dikutip dalam wikipedia.com Ojek atau ojeg adalah transportasi umum informal di Indonesia yang berupa sepeda motor atau sepeda, namun lebih lazim berupa sepeda motor. Disebut informal karena keberadaannya tidak diakui pemerintah dan tidak ada izin untuk pengoperasiannya. Penumpang biasanya satu orang namun kadang bisa berdua. Dengan harga yang ditentukan dengan tawar menawar dengan supirnya dahulu setelah itu sang supir akan mengantar ke tujuan yang diinginkan penumpangnya.
Ojek banyak digunakan oleh penduduk kota-kota besar misalnya di Jakarta. Karena kelebihannya dengan angkutan lain yaitu lebih cepat dan dapat melewati sela-sela kemacetan di kota. Selain itu dapat menjangkau daerah-daerah dengan gang-gang yang sempit dan sulit dilalui oleh mobil. Biasanya mereka mangkal di persimpangan jalan yang ramai, atau di jalan masuk kawasan permukiman. Ojek sepeda jarang sekali ditemukan namun di Jakarta yaitu di Kota dan Tanjung Priok masih banyak ojek sepeda yang beroperasi walaupun hanya berjarak pendek.
Ojek merupakan alternatif transportasi kota besar yang memberikan keunggulan dari segi waktu tempuh. Terutama pada kota besar yang dilanda macet tidak berujung. Ojek utamanya menggunakan kendaraan bermotor roda dua, atau singkatnya sepeda motor. Pasca krisis ekonomi Indonesia tahun 1998, profesi ojek menjadi favorit bagi para pengangguran, baik akibat PHK maupun tidak. Ditambah lagi dengan suburnya industri sepeda motor di Indonesia dari masuknya motor impor Tiongkok, Korea, maupun ATPM yang telah memiliki pabrik di Indonesia. Sebagai jenis terfavorit, sepeda motor yang bebek menjadi pilihan utama para tukang ojek sebagai kendaraan dinasnya. Meskipun tidak tertutup kemungkinan para tukang ojek memanfaatkan aset pribadinya yang sudah kuno seperti skuter Vespa, RX-King butut, atau GL Pro butut.
B.       Wanita Dalam Islam
Islam telah menetapkan kepada kaum wanita hak-haknya sebagaimana telah menetapkan pula atas mereka kewajiban-kewajibannya. Islampun telah menetapkan bagi pria hak-haknya sebagaimana telah menetapkan pula atas mereka kewajiban-kewajibannya. Adanya penetapan berbagai hak dan kewajiban tidak lain terkait dengan kemaslahatan keduanya dalam pandangan Allah sebagai Asy-Syari’ (pembuat hukum). Pemecahan atas berbagai aktivitas yang mereka lakukan didasarkan pada anggapan bahwa ia merupakan perbuatan tertentu yang dilakukan oleh seorang manusia tertentu. Pemecahan yang diberikan akan sama jika memang tabiat keduanya selaku manusia mengharuskan adanya pemecahan yang sama. Sebaliknya pemecahan yang diberikan kepada keduanya akan berbeda jika memang watak salah satu dari keduanya menuntut adanya pemecahan yang berlainan. Namun demikian, adanya kesamaan di dalam sejumlah hak dan kewajiban di antara keduanya bukan didasarkan pada ada atau tidak adanya aspek kesetaraan. Demikian pula keduanya; tidak dilihat dari ada atau tidak adanya unsur kesetaraan. Sebab, Islam hanya memandang komunitas masyarakat, baik pria atau wanita, dengan menganggapnya sebagai suatu komunitas yang bernama manusia, lain tidak.

Dalam konteks ini, salah satu watak (karakter) dari suatu komunitas masyarakat manusia adalah adanya kaum pria dan kaum wanita. Allah SWT berfirman:
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Atas dasar pandangan inilah, Allah SWT, memberikan taklif syariat. Atas dasar ini pula, Allah SWT, memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada kaum pria dan kaum wanita. Islam Memandang Laki-laki dan wanita dalam dua posisi
1.    Dari sisi yang bersifat manusiawi (insaniyyah). Artinya, berbagai taklif (pembebanan hukum) yang ada adalah terkait dengan kedudukan mereka sebagai manusia. Dalam realitas semacam ini, akan ditemukan adanya kesamaan di antara berbagai hak dan kewajiban atau adanya kesatuan taklif. Dengan demikian, berbagai hak dan kewajiban setiap pria maupun wanita adalah sama saja, tidak berbeda. Taklif bagi pria ataupun wanita juga sama saja.
Allah SWT telah mensyariatkan seperangkat hukum yang berkaitan dengan manusia dalam kedudukan atau predikatnya sebagai manusia sebagai satu ketentuan yang sama-sama harus dijalankan oleh kaum pria atau kaum wanita. Dari sini berarti, taklif serta berbagai hak dan kewajiban pria dan wanita adalah sama. Sebab ayat-ayat , maupun hadis-hadis yang menunjuk hukum-hukum dalam persoalan-persoalan seperti di atas bersifat general (umum) sekaligus integral (mencakup), yakni berlaku bagi manusia pria dan wanita dalam kedudukan atau predikat sebagai manusia; juga berlaku bagi kaum mukmin pria dan wanita dalam kedudukan atau predikatnya sebagai orang beriman. Oleh karena itu, banyak ayat yang menetapkan bahwa taklif hukum ditujukan bagi pria maupun wanita.Allah SWT, misalnya berfirman sebagai berikut:
Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimah, kaum mukmin dan mukminat, pria dan wanita yang senantiasa berlaku taat, pria dan wanita yang selalu berlaku benar, pria dan wanita yang biasa berlaku sabar, pria dan wanita yang senantiasa takut (kepada Allah), pria dan wanita yang gemar bersedekah, pria dan wanita yang suka berpuasa, pria dan wanita yang selalu memelihara kemaluan (kehormatan)-nya, serta pria dan wanita yang banyak menyebut asma Allah, telah Allah sediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. al-Ahzab [33]: 35).
Dari sini, kita akan menemukan bahwa, Islam tidak melakukan diskriminasi terhadap pria ataupun wanita dalam menyeru manusia ke dalam jalan keimanan, dan tidak pula melakukan pembedaan terhadap pria ataupun wanita dalam membebankan taklif berupa keharusan mengemban dakwah Islam.

Islam telah menjadikan taklif yang berhubungan dengan aspek ibadah seperti shalat, shaum, haji dan zakat sebagai beban yang sama-sama harus dipikul, baik oleh pria maupun wanita. Islam telah menjadikan sifat tenang yang diperintahkan oleh hukum-hukum syariat sebagai ahlak yang sama-sama harus dimiliki oleh pria maupun wanita.Islam telah menjadikan hukum-hukum muamalat yang berhubungan dengan persoalan jual beli, perburuhan (ijarah), perwakilan (wakalah), pertanggungjawaban (kafalah), dan semacamnya sebagai satu taklif yang dibebankan kepada pria maupun wanita
Demikianlah, kita menyaksikan bahwa, seluruh hukum syariat terkait dengan manusia dalam kedudukan atau predikatnya sebagai manusia, apapun hukumnya serta apapun jenis dan macamnya. Allah SWT telah menjelaskan bahwa hukum syariat tersebut pada dasarnya satu dan berlaku baik bagi pria maupun wanita. Namun demikian, realitas semacam ini bukan merupakan legitimasi atas adanya kesetaraan (equalitas) sebagaimana yang yang dimaksudkan dalam terminology Barat, antara pria dan wanita. Yang dimaksud tidak lain bahwa hukum-hukum tersebut disyariatkan oleh Allah SWT kepada manusia, sama saja apakah ia pria atau wanita, karena keduanya sama-sama manusia. Hukum-hukum tersebut hakikatnya merupakan seruan Allah SWT yang terkait dengan amal perbuatan manusia
2.    Ditinjau dari perspektiff gender, manusia memang memiliki watak (karakteristik) kemanusiaan yan berlainan satu sama lain. Oleh karena itu, solusi Islam tentu ditujukan secara khusus bagi manusia dengan gender tertentu (laki-laki atau perempuan), bukan semata-mata ditujukan bagi manusia secara umum. Dari sini kita mendapatkan ada perbedaan taklif hukum atas wanita dan laki-laki. Contoh dalam hal ini misalnya.
a.       Persaksian dua orang wanita, sebanding dengan kesaksian seorang pria dalam aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam komunitas (jamaah) pria maupun dalam kehidupan social secara umum; seperti kesaksian mereka dalam kaitannya dengan sejumlah hak tertentu (huquq) dan muamalat (mu’amalat) (Qs. al-Baqarah [2]: 282).
b.      Selain itu, islam pun menetapkan hak wanita dalam konteks pembagian harta warisan separuh dari hak yang di dapatkan pria dalam beberapa keadaan (Qs. an-Nisaa’ [4]: 11).
c.       Islam juga telah memerintahkan agar wanita mengenakan pakaian yang berbeda dengan pakaian pria. Demikian pula sebaliknya, pakaian pria berbeda dengan pakaian wanita.islam telah melarang satu sama lain untuk saling menyerupai (tasyabuh) dalam berpakaian, karena adanya pengkhususan atau pembedaan satu dengan lainnya, seperti menghiasi anggota bagian tubuh tertentu.
d.      Allah SWT telah menetapkan usaha untuk mencari nafkah sebagai kewajiban bagi seorang pria. Sebaliknya, mancari nafkah tidak ditetapkan sebagai kewajiban bagi wanita, tetapi hanya sekedar mubah (boleh) saja jika dia menghendaki, dia boleh melakukannya. (Qs. at-Talaq [65]: 7).
e.       . Islam telah menetapkan bahwa urusan kepemimpinan (qawwamah)- di dalam rumah tangga- adalah diperuntukkan bagi pria atas wanita. Artinya, para suami memiliki wewenang untuk mengendalikan kepemimpinan sera mengeluarkan perintah dan larangan di dalam kehidupan rumah tangga(Qs. an-Nisaa’ [4]: 34).
C.       Hukum Ojek wanita (Kajian Qiyas)
Qiyas merupakan salah satu sumber hukum syariat islam setelah ijma. Berdasarkan hadist Rosulullah yang artinya “apabila dalam al-Quran tidak ditemukan hukumnya maka lihat atau carilah dalam hadist jika tidak ada juga lihat di Ijma` dan jika tidak ada juga barulah dilihat dalam kajian qiyas”. Qiyas secara terminologi berarti menentukan hukum dengan cara menyamakan hukum cabang dengan hukum asal berdasarkan kesaman Illat.
 Sebelum kepembahasan hukum maka perlu diketahui bahwa sebelum menetapkan sebuah hukum haruslah memperhatikan dua hukum, yaitu yang pertama asal yaitu hukum asal atau dasar mengenai yang berkaitan mengenai hukum yang akan dibahas. Kedua hukum  fark (فرع) yaitu hukum cabang yang diambil dari qiyas yang merupakan alas an yang menentukan hukum fark dari hukum asal. Dari kedua hukum tersebut akan lahirlah sebuah kesimpulan hukum.

a.       Hukum Asal (اصل)
Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam Islam ada empat sumber hukum yaitu Al-qur`an, hadits, ijma ulama, dan qiyas.namun didalam Al-qur`an dan Hadist tidak dijelaskan secara rinci mengenai hal ini.
Dasar hukum asalnya (naik ojek dan wanita yang menjadi tukang ojek) adalah bersinggungan badan dan berduaan di tempat sepi. (Pengharaman) ini diputuskan untuk menghindari kemaksiatan yang bisa ditimbulkan, Bila pengemudian sepeda motor itu laki-laki dan yang diboncengkan adalah wanita, di mana keduanya bukan mahram, jelaslah hal itu melanggar batasan syar'i. Meski pun tidak ada hubungan hati antara keduanya. Namun realitasnya, tubuh mereka mau tidak mau saling menempel, atau minimal harus selalu berduaan (khalwat).
Agaknya memang sulit untuk membolehkan atau merubah status hukum ini. Kalau mau dimasukkan ke dalam bab darurat, seharusnya hal itu terjadi hanya sekali waktu. Bukan setiap hari. Dan yang namanya darurat itu harus dalam arti yang sebenarnya. Adapun faktor yang menyebabkan haramnya ojek wanita atau wanita niak ojek yaitu:
1.         Berpotensi fitnah (hal-hal yang diharamkan)
2.         Bisa mennimbulkan hawa nafsu bagi penumpang non mukhrim
3.         islam telah melarang satu sama lain untuk saling menyerupai (tasyabuh) dalam berpakaian. Dalam hal ini jika seorang wanita berprofesi sebagai tukang ojek maka pakaiannya akan menyerupai laki-laki.

b.      Hukum fark (فرع)/ Hukum cabang
Fatwa haram yang dikeluarkan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur di Ponpes Lirboyo tentang ojek wanita menuai pro dan kontra di masyarakat luas. Masyarakat yang kontra menggap bahwa fatwa tersebut tidak menjawab dan tidak relevan terhadap kebutuhan masyarakat sekarang ini. Seperti yang dijelasakan pada hukum asal bahwa haram bagi wanita menjadi tukang ojek karena bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan (berpotensi fitnah, menimbulkan hawa nafsu, dan lain-lain).
Namun hal ini dianggap subjektif karena wanitalah yang menjadi objek permasalahan. Seharusnya yang yang perlu ditekankan dan menjadi perhatian adalah  mengapa wanita menjadi tukang ojek? Sebagai seorang suami memang harus menafkahi keluarganya tapi bagaimana jika sang suami tidak bisa menafkahi keluarga dalam artian suami sudah tidak ada, suami sedang sakit dan lain sebagainya? Tentu tidak lain tidak bukan yang harus menafkahi keluarga adalah istri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasannya yang menjadi faktor utama wanita menjadi tukang ojek adalah karena desakan ekonomi. Maslah ekonomi adalah masalah kelasik dan sensitif di dalam masyarakat. Kareana desakan ekonomi bisa membuat masyarakat melakukan hal-hal yang keluar dari ajaran islam dan bahkan bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad. Oleh karena itu dalam menanggapi dan menetapkan fatwa perlu mempertimbangkan banyak pertimbangan agar tidak membingungkan masyarakat.
Dalam islam yang menjadi tanggung jawab untuk menafkahi keluarga adalah seorang suami, sebagaimana firman Allah

233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Dari ayat diatas Allah SWT telah menetapkan usaha untuk mencari nafkah sebagai kewajiban bagi seorang pria. Sebaliknya, mancari nafkah tidak ditetapkan sebagai kewajiban bagi wanita, tetapi hanya sekedar mubah (boleh) saja jika dia menghendaki, dia boleh melakukannya. Namun pertanyaanya bagaimana jika seorang suami tidak mampu menafkahi keluarganya karena  sakit ?, maka ada qaidah yang mengatakan

الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما

dari konteks diatas hukum bisa saja berubah tergantung dari keadaan. Jika sang suami tidak mampu menafkahi dikarenakan sakit maka sang istrilah yang berkewajiban menafkahi keluarga begitupun sebaliknya.
Allah SWT juga telah menetapkan bagi hak wanita untuk memberikan nafkah secara langsung kepada anaknya jika ayah mereka tidak pernah menunjungi mereka atau ayah mereka kikir, sedangkan pria, dalam kondisi semacam ini, terlarang untuk melakukannya secara langsung. Dalam konteks ini Hindun perah mendatangi Rasulullah Saw ia lantas berkata:
‘ya Rasulullah, Abu sufyan sesungguhnya pria yang sangat kikir. Ia tidak pernah memberikan nafkah yang cukup bagi diriku dan anakku.’ Rasulullah Saw kemudian menjawab sebagai berikut: ‘Ambil saja olehmu secara baik-baik hartanya dengan kadar yang dipandang cukup untuk dirimu dan anakmu.’
Jadi jika meperhatikan penjelasan diatas dan ekonomi menjadi factor utama, sehingga dikhawatirkan factor ekonomi menjadi landasan orang untuk menghalalkan segala cara atau bahkan mungkin murtad dari islam, maka seorang wanita boleh saja niak ojek selama tidak ada transportasi lain selain naik ojek maupun tidak ada pekerjaan lain selain perempuan berprofesi sebagai tukang ojek.


PENUTUP

A.       Kesimpulan
Islam merupakan agama rahmatan lil`aalamiin yang mampu membawa masyarakat dari kegelapan menjadi terang menderang dan bukan membawa masyarakat pada kebimbangan. Hukum islam juga sangat berperan dalam kehidupan masyarakat dan diharapkan mampu menjawab kegelisahan yang ada dimasyarakat. Hukum islam juga tidak bersifat kaku yang harus diterima mentah-mentah tanpa mempertimbangkan banyak hal. Oleh karena itu sebelum menetapkan fatwa / hukum terhadap sesuatu perlu mempertimbangkan banyak hal agar fatwa tersebut tidak membingungkan masyarakat dan memberikan solusi yang tepat.
Mengenai ojek wanita seperti yang telah dibahas diatas bahwa hukum asalnya (naik ojek dan wanita yang menjadi tukang ojek) adalah bersinggungan badan dan berduaan di tempat sepi. (Pengharaman) ini diputuskan untuk menghindari kemaksiatan yang bias ditimbulkan. Selain itu juga bisa menimbulkan fitnah, menimbulkan hawa nafsu bagi penumang, selain itu juga islam melarang umatnya untuk saling menyerupai  (tasyabuh) dalam berpakaian.
Namun dari hukum asal tersebut timbul pertanyaan bagimana jika suami meninggal atau sakit sehingga tidak ada yang member nafkah?. maka sang istrilah yang berkewajiban menafkahi keluarga. Jadi seorang wanita boleh saja niak ojek selama tidak ada transportasi lain selain naik ojek maupun tidak ada pekerjaan lain selain perempuan berprofesi sebagai tukang ojek, dengan catatan harus memperhatikan hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh agama.




Posting Komentar

0 Komentar